Keponakan Luhut Pandjaitan Kecewa Soeharto Dijadikan Pahlawan: Ternyata Ayahku Penjahat!
Penobatan almarhum Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, menuai reaksi beragam. Salah satu tanggapan pedih datang dari Gita Sjahrir, putri dari almarhum Dr. Sjahrir, ekonom dan aktivis era Orde Baru yang dikenal sebagai salah satu tahanan peristiwa Malari 1974.
Dalam sebuah unggahan yang menyentuh dan personal, Gita menuangkan kekecewaan dan kegelisahan hatinya. Baginya, penganugerahan gelar tertinggi tersebut kepada mantan presiden yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu ibarat memutar balikkan sejarah dan mengubur perjuangan orang-orang seperti ayahnya.
"Ayahku seperti Menjadi Penjahat"
Baca Juga: 10 Tokoh Ini Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Tahun 2025 Oleh Prabowo!
Gita, yang merupakan adik dari Pandu Sjahrir (Chief Investment Officer Danantara) dan keponakan dari Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa dengan diangkatnya Soeharto sebagai pahlawan, sang ayah yang dahulu menentang dan menjadi korban kebijakan rezim, seolah-olah berubah wujud menjadi "penjahat" bagi bangsanya sendiri.
"Di Hari Pahlawan, 10 November 2025, aku belajar bahwa ternyata Ayahku selama ini adalah seorang penjahat," tulis Gita yang memiliki paman buyut Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1945-1947 tersebut, membuka catatannya.
Baca Juga: Dulu Tak Direstui, Mayangsari Ungkap Isi Hatinya Usai Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Gita Sjahrir. [Instagram]
"Selama berpuluh tahun, Ayah berjuang, sampai masuk penjara, sampai dieksil, sampai akhirnya meninggal bangkrut, semuanya untuk negara tercinta dia, Indonesia. Dan di ujung perjuangannya, Ayah tidak pernah lelah menentang seorang presiden, yang berpuluh tahun kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional."
Ia kemudian mempertanyakan esensi dari gelar "pahlawan". "Karena kalau seorang pahlawan itu adalah seseorang yang patut untuk diingat dan kita ikuti... jadi bagaimana kita sampai ke titik di mana seseorang yang begitu berlimpah darah di tangannya bisa menjadi pahlawan?" tanyanya retoris.
Luka Masa Lalu yang Kembali Terbuka
Ungkapan kekecewaan Gita tidak berhenti di situ. Ia lalu membagikan fragmen-fragmen kenangan pahit masa kecilnya sebagai anak seorang eksil politik. Meski mengakui privilege bisa tumbuh besar di Amerika Serikat, kenangan itu diwarnai oleh kesulitan dan trauma.
Dia bercerita tentang ayahnya yang kerap terdiam menulis surat untuk neneknya yang tak kunjung bisa dijumpai, pertengkaran orang tuanya karena mahalnya harga tempe dan tahu di perantauan, serta tangis mereka saat mendengar kabar teman seperjuangan yang menghilang.
Keluarga Gita Dan Pandu Sjahrir. [Instagram]
Gita juga menceritakan pengalaman pribadinya yang getir: di-bully karena bekal makanan ibunya yang dianggap "bau", dipukuli dan dijauhi teman-teman saat kembali ke Indonesia karena dianggap "bule", hingga peristiwa traumatis di mana dia ditampar berulang kali oleh gurunya, Ibu Mer, karena secara tidak sengaja menyebutkan hal negatif tentang Soeharto.
Kenangan paling mencekam adalah ketika ayahnya menghilang selama 24 jam di tahun 1998, dan pulang dalam keadaan basah kuyup dan bau kotoran, setelah disembunyikan di selokan oleh para aktivis untuk menghindari penangkapan. Namun, di balik semua penderitaan itu, ada semangat juang yang tak padam. Gita mengenang kata-kata sang ayah setelah Reformasi.
"Indonesia akan reformasi. Gita, kita sekarang bebas."
"So, imagine my surprise when I realized that what my father fought against - is now the hero," tulisnya dengan nada pilu.
Sejarah Ditulis oleh Semua Orang, Bukan Hanya Pemenang
Di akhir tulisannya, Gita menolak untuk diam. Ia menampik pepatah bahwa "sejarah ditulis oleh pemenang". Baginya, sejarah bisa dan harus ditulis oleh siapa saja yang memegang teguh ingatan dan kebenaran.
"Ada yang mengatakan bahwa 'history is written by the victors.' Dan mungkin ini benar... Tetapi, aku juga percaya bahwa sejarah bisa ditulis siapa saja. Dan selama kita tidak menyerah mengingat dan membela apa yang benar, maka pemenangnya masih belum ditetapkan," tegasnya.
Dia mengingatkan mereka yang bermain dengan kekuasaan untuk membeli integritas, bahwa sejarah bukanlah milik mereka semata. "It's written by all of us."
Dengan penuh keyakinan, Gita bertekad untuk terus melanjutkan perjuangan sang ayah dengan caranya sendiri: melalui tulisan dan ingatan.
"And for as long as I write, I refuse to let my father's memory pass. If this makes me the enemy, then so be it. But I'd rather be an enemy, than a hero with a bloody legacy."
Pernyataan Gita Sjahrir ini menyiratkan bahwa di balik gemerlap gelar dan upaya rekonsiliasi nasional, masih ada luka sejarah yang dalam dan belum sepenuhnya sembuh, menunggu untuk diakui, bukan dilupakan.